Mendengar nama Ibu July Oktalia
maka yang terbayang adalah sosok seorang wanita sholehah yang cerdas, lembut,
dan keibuan. Ia adalah seorang akhwat angkatan pertama di kampus yang
memperoleh nilai tertinggi, pernah menjabat sebagai ketua BEM, mendapatkan beasiswa
S2 antropologi di Belanda kemudian kembali ke kampusku untuk mengabdi sebagai
seorang dosen. Pada kuliah hari ini, ia tak hanya sekedar menjelaskan mata
kuliah tetapi juga menyelipkan
nilai-nilai islam sambil mengintip fakta psikologi rumah tangga di lapangan.
Ada yang berbeda pada kuliah hari
ini, beliau membeberkan kisah cinta beliau, cerita yang membuat mehasiswa yang
mengantuk menjadi terjaga, yang melamun menjadi fokus, dan saat ia memulai
bercerita, seluruh mata sudah terfokus padanya.
Ibu july memilih alternative
menikah tanpa pacaran yang biasa dikenal dengan “taaruf”. Setelah menyelesaikan
studinya di Belanda ia kembali ke Indonesia, disambut oleh 4 buah proposal
pernikahan. Proposal itu datang dari seorang ikhwan yang juga kuliah S2 di belanda
dan akan segera melanjutkan kuliah S3nya di Jerman, seorang ikhwan tampan S1
dengan pekerjaan mapan, seorang ikhwan dengan bisnis yang sukses, dan seorang
S2 dari perguruan tinggi negeri favorite di Jakarta. Ke empat proses taaruf
sudah dijalani tetapi keempatnya tak ada yang berhasil. Mulai dari bisikan “tidak”dalam
telinga”, keragu-raguan, dan berbagai macam kendala.
Sampai ia bertemu dengan seorang
pria. Pria ini adalah seorang polisi lulusan SMU yang meminta kepada beliau
untuk dicarikan seorans istri yang sholehah yang mau menerimanya sebagai suami
untuk diajarkan Islam lebih dalam. Pria itu menceritakan pengalaman hidupnya
yang kelam. Ia sudah terbiasa dengan kehidupan malam, berbagai jenis narkotika
pernah ia coba, bahkan ia pernah masuk penjara militer karena peluru yang ia
tembakkan salah sasaran. Di penjaralah ia mulai mendapatkan hidayah. Ia jenuh
dengan kehidupan kelamnya. Ia ingin mengenal Islam lebih dalam.
Setiap hari ia datang menemui ibu
dari ibu juli untuk memamerkan kemajuannya dalam membaca Al Qur’an. Ia rutin
membaca buku-buku Islam. Ia juga rutin melaksanakan shalat. Ia
bersungguh-sungguh ingin hidup dalam Islam.
Ibu July melihat kesungguhan pada
polisi tersebut. Ia menanyakan kesediaan semua rekan akhwat yang ia kenal untuk
menjadi istri seorang pria. Alhamdulillah.. tidak satupun yang bersedia. Bagaimana
dengan ibu Julu sendiri? Waah.. sudah jauh sekali levelnya. Bu july lulusan S2
dengan beasiswa di luar negeri sementara sang suami hanyalah seorang polisi
lulusan SMA. Jangan Tanya gaji, gaji bu July berada jauh diatasnya, terlebih
lagi pria ini baru saja menghabiskan hartanya demi membayar pengacara atas
kasus peluru nyasar tersebut. Lagi pula menjadi isteri seorang polisi. Amit-amit
cabang bayi. Ibu July dari dulu berharap punya suami dengan pekerjaan apa saja
asal jangan polisi.
Tapi Jodoh siapa yang tahu jusru
pria itulah yang menjadi jawaban dalam istikharah panjang ibu July. Proses
pernikahan berlangsung dengan cepat hingga ia nyaris tak percaya ia telah
menikah.
Sekarang keadaan jusru berbalik.
Pria itulah yang kini menjadi guru bagi ibu July. Seorang yang istiqomah
ibadahnya. Tapat waktu sahalatnya. Murah sedekahnya. Suami yang baik dan ayah
yang penyayang. Pria itulah yang menjadi penentram hari-hari ibu July
selanjutnya. Pria itu kini sudah
melanjutkan selesai melanjutkan kuliahnya, penghasilannya kini, jauh di atas
penghasilan Ibu july.
Ibu July sangat bersyukur
diakaruniai suami sebaik suaminya. Kini ia sudah dikarunia dua orang anak yang
melengkapi kebahagiaan kehidupan rumah tangganya.
***
Cerita Bu July mengajarkan bahwa
Untuk meraih kemuliaan dalam cinta bermula dari kemuliaan niat. Kebahagiaan cinta tidak
tumbuh dari kebanggaan atas identitas dunia. Mungkin saja Tuhan menganugerahkan
kita pasangan yang sederhana, tapi justru bersamanya kita bisa saling
menumbuhkan hingga akhirnya kita sadar, Tuhan punya cara istimewah dalam
membimbing jalan kita.
Pesan Bu July dalam penutupan kuliahnya.
“Bersihkanlah niatmu, maka pintu kebaikan akan terbuka untukmu.
Kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika kamu berbuat kebaikan”.