Saturday 27 March 2010 | By: Hanifah Fitri

laki-laki tu itu sudah menghadap Ilahi



krrinngggg.......
"assalamu'alaikum" aku jawab telepon dengan segera.
"ayah mana?" jawab suara dari jarak jauh terdengar agak panik.
"ayah lagi keluar, kenapa mbah?" jawabku pada mbah putri, neneku.
"mbah uyut udah gak ada!"

Innalillahi wa innilahi roji'un,

.......................................

Baru sekitar satu jam yang lalu aku tiba dirumah meningalkan kota Bogor untuk mengikuti ujian yang diselanggarakan besok. Usai mendengar berita itu memoriku teringat beberapa belas tahun yang lalu.

Laki-laki itu adalah kakek dari ayahku. Mbah uyut, begitu aku biasa memanggilnya. Akulah cicit pertamanya. Hal yang sangat aku syukuri adalah aku dilahirkan sebagai anak pertama, cucu pertama sekaligus cicit pertama. Karena itulah, aku bisa merasakan lebih cinta dari orang-orang disekelilingku.

Saat aku masih kecil aku sering bermain bersama mbah uyut, mbah sering menyanyikan lagu-lagu jawa sambil mengelus-elus rambutku. Mbah mengajariku bagaimana cara membuat bebek dan balon udara dari kertas. Hampir setiap sore akhir pekan mbah mengajak ku ke kebon di pinggir sawah. Aku merasa gembira karena setiap pulang dari kebon aku akan membawa pulang es krim atau Taro ke rumah. Kenangan itu berputar seolah aku sedang menonton televisi tentang masa kecilku. Kenangan yang mungkin tidak dialami oleh cicit-cicitnya yang lain.

Tadi pagi aku masih berada dibogor, aku lihat tubunya yang sudah sangat kurus diumurnya yang diperkirakan sudah 92 tahun, ia tampak begitu lemah. Memang sudah beberapa hari ini mbah sakit. sakit tua, begitulah biasa orang yang datang menjenguk mengatakannya. Mbah sudah tidak berdaya terbaring ditempat tudur beberapa bulan yang lalu. Beberapa minggu ini kondisinya kian melemah dan terus melemah. Mbah sudah mulai kesulitan bernafas, bahkan 2 hari terakhir air seninya sedikit mengeluarkan darah.

Usai shalat subuh, aku mengamati kondisi mbah. Aku sedikit bercakap-cakap dengan nenekku. Kami berdoa "ya Allah sesungguhnya kami sudah ikhlas melepas mbah, jika Engkau menginginkannya, mudahkanlah jalannya. Kemudian aku duduk disamping mbah. Ku lantunkan surat Ar-Ra'd. "surat Ar-ra'd, bacakan  mbah uyut surat Ar-ra'd, pinta neneku agar aku membacakan surat tersebut. Sudah menjadi tradisi orang sekitar kampung membacakan surat Ar-radu untuk orang-orang yang sedang dalam kondisi kritis. Sembari kubacakan ku usap-usapkan tanganku ke dadanya sambil hatiku berdo'a. "Ya Allah jangan Engkau cabut nyawanya kecuali dengan khusnul khatimah". hatiku miris melihat dadanya yang sesak kian sulit bernafas.

Selesai menerima telepon jari-jariku lemas, walaupun aku dalam kondisi terbilang cukup siap dengan kabar itu, masih ada hal-hal yang aku sesali. Menyesal karena aku tak ada saat sakaratul mbah terjadi, padahal aku biasa melewati hari-hari bersamanya. Menyesal mengapa aku hanya membacakan surat Ar-ra'd, seandainya aku bisa bersama mbah lebih lama, membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an lebih banyak. Entah bagaimana aku bisa mengerjakan soal-soal utul (ujian tulis) ugm besok. Namun, hal yang aku syukuri, Allah mengabulkan doaku, memudahkan jalan mbah menuntaskan amanah hidupnya di dunia

Begitulah Allah punya rencana, tiap-tiap detik yang kita lalui merupakan tarikan langkah kematian.

Ya Allah, Demi stiap nyawa yang ada dalam genggaman-Mu, Maha pengasih, Maha pengampun. Ampunilah dosa-dosa beliau. Sesungguhnya beliau adalah orang yang baik, sangat baik, Terimalah segala amal perbuatannya, lapangkan dan terangilahlah kuburnya, tempatkanlah ia disisi-Mu selalu dalam kebaikan.
amin.


Bekasi, 27 maret 2010