Tuesday, 10 September 2013 | By: Hanifah Fitri

Tekad!


Sudah dua puluh dua tahun. Oh,.. aku malu menyebutnya. Di usiaku yang tidak lagi sedikit ini aku merasa begitu kosong. Ini bukan sekedar soal usia, bukan soal kulit yang menua, dan tubuh yang tidak lagi sama, ini tentang kebermanfaatan hidup.
 Tanganku miskin karya. Otakku Miskin ide. Ciut hatiku melihat teman-teman bahkan adik-adik yang umurnya jauh lebih muda tetapi sudah mampu menghasilkan banyak karya. Aku malu.. aku merasa hina.

“Apa karya terbaikmu yang bisa kamu banggakan?” Tanya seorang yang mungkin usianya lebih muda dariku dalam suatu wawancara perekrutan.

Aku tersentak. Seperkian detik berikutnya nyaliku jatuh pada level paling rendah.

“Tidak ada”.

Dua puluh dua tahun usia masih jadi manusia yang kosong. Hidupku masih jauh dari berguna. Lima kali sehari usai shalat memohon agar menjadi manusia yang bermanfaat tetapi masih tak bersungguh-sungguh melaksanakannya.

Tidak! Tidak! Tidak!
Aku tidak ingin terus begitu. Aku harus berkarya. Bersungguh-sungguh menjadi manusia berguna.


Ini sebuah tekad. Janji pada hidup 
Tuhan.. Kuatkan tekadku.. Tunjukilah jalanku.



Sunday, 8 September 2013 | By: Hanifah Fitri

Langit Surabaya


  Ada sebuah perdebatan hebat anatara aku dan ayah saat penerimaan mahasiswa  baru 4 tahun lalu. Dengan jabatan  dan perusahaan ayah, aku dapat dengan mudah masuk perguruan tinggi ternama di kota Bandung dengan jalur PMDK. Dengan biaya yang tidak sedikit pula tentunya. Tapi aku memilih menolak, aku memang bukan anak baik, aku tidak bisa menurut tentang pilihan hidupku, tentang jalan hidup yang akan ku jalani.

  Bandung bukan pilihanku. Meski Bandung juga dijuluki kota mahasiswa dan menjadi kota impian mayoritas teman-temanku, aku memilih menolak Bandung. Kota fashion yang indah dan menyenangkan itu bukanlah kota ku.

   Tapi disnilah kotaku. Di kota yang panas dan kering. Hanya orang-orang yang keras yang tahan hidup disini. Kota ini pernah mencatat tentang perjuangan keras para pahlawan. Kota ini memang kota perjuangan. Kotanya para pahlawan.

   Bentangan langit biru yg  indah dan tak berawan disini seolah  menegaskan bahwa ada harapan dan cita-cita yang tinggi menjulang dibawah langitnya


Yaitu “Kami”.