Sunday, 30 September 2012 | By: Hanifah Fitri

Doa dari Multazam dan Jabal Rahmah

Kemarin sedang ada persiapan acara silaturahmi bersama keluarga. Seluruh rumahku dipenuhi banyak orang dan barang-barang. Hanya dikamar orang tuaku saja yang steril dari barang dan orang.

Aku memutuskan untuk mencuri waktu istirahat dikamar tersebut. Tak lama, ayah datang dan merebahkan badannya disebelahku. Kami terlibat perbincangan kecil. Sambil membalas pesan dari seorang sahabat aku mencoba berbincang dengan ayah..

"Oh ya yah.. besok ifa ngundang temen ifa buat datang acara silaturahmi. Ayah ajak ngobrol-ngobrol dia ya.. supaya dia ngerasa nyaman yah, besok dia datang sendiri yang lain kan keluarga". Jawabku membuat suatu topik pembicaraan.

"Siapa?" Tanya ayah cepat dan penasaran. Kulihat ada guratan wajah kurang senang diwajahnya.

"Via, yah".

"Ohhmm.... Iya..." Jawab ayah sambil tersenyum menghilangkan gurat-gurat wajah tak senang yang sebelumnya tampak.

"Cewek kok yah, sahabat ifa..tenang aja yah.. ifa nggak akan bawa temen cowok kok ke rumah. hehehe...". Jawabku mencoba menjawab makna rawut wajah ayah. Ayah hanya diam. Diam yang menyetujui.

Seketika aku berpikir tentang kata-kata yang baru saja kuucapkan. Tak akan bawa teman pria ke rumah adalah pilihanku nanti dan sekarang. Lalu bagaimana nanti aku menikah?

"Yah, nanti kalau ifa udah gede ayah yang cariin jodoh buat ifa yaaaa.. !" Ucapku spontan. Refleksi dari hal yang baru saja kupikirkan.

"Iya. tenang aja. Nanti ayah doain anak ayah supaya dikasih Allah jodoh yang baik dan sholeh di Multazam dan di Jabal Rahmah"

"AAAMIMMIIIINNNN...!!" Jawabku cepat dan keras. Nyaris berteriak saking senangnya.

Ya Allah.. Bahaginyaa.. Bahagia sangat. Rasanya seperti sudah dihadiahi jodoh di depan mata.

"Ia yah, sholeh, baik, ganteng, pinter, cerdas, sabar, setia, dan bla.. blaa.. blaaa!" jawabku meminta ayah berdoa lebih panjang.

"Ayah berdoa kamu dikasih jodoh yang baik dan sholeh". Jawab ayah sedikit manaikkan nada. Menyiratkan arti, pria yang baik dan sholeh sudah cukup untuk membuat anaknya bahagia.

"Iya.. yah". Ucapku penuh malu dan menyerah sambil memeluknya. Disisi lain. aku bangga dan sangat bersyukur memiliki ayah seperti ayah. Aku yakin ayah tahu yang terbaik untuk anaknya. Aku wanita dan manusia yang kurang bersyukur, dan terlalu banyak maunya.

      Ayah memang belum pergi ke multazam dan jabal rahmah. Tetapi dengan izin Allah dia akan berangkant kesana. Aamiin. Dengan penuh perasaan bahagia, kupeluk ayah dan kupejamkan mata.

        Sambil hatiku bertanya "Ya Allah.. Siapakah pria dalam doaku dan doa orang tuaku? kapan dan bagaimana kami nanti bertemu?".

Pertanyaan itu sampai hari ini belum terjawab. Tapi biarlah itu menjadi teka-teki. Biar doa dan harapan tetap ada. Harapan kebahagiaan yang baru akan kuuraikan diepisode hidupku berikutnya. Yang Jika Allah mengizinkan kami bertemu, nanti akan ku tulis namanya sebagai jawaban dari tulisan ku kali ini.

Aamiin.. Aamiin ya Robbal'alamin,
Wednesday, 26 September 2012 | By: Hanifah Fitri

Di Persimpangan

     
Dalam Dalam hidup ada saat kita ditawarkan begitu banyak pilihan. Dari kedewasaan, kita dituntut untuk mampu mengambil pilihan sendiri kemudian menanggungnya.  Jejas-jejas waktu yang membawa kita menuju episode baru yang tidak kita tahu. Tapi apalah daya, hidup ini begitu abstrak. Tak siapapun tahu seperti apa dan bagaimana akhir hidup yang ia miliki. Siapa yang tahu apa yang dibenci jadi dicinta, hari ini miskin esok jadi kaya, hari ini dipuja esok hari dihina begitu juga sebaliknya. Sebab itu manusia hanya bisa berspekulasi,  mengambil resiko, manaruh harapan, dan mengambil pelajaran untuk pelajaran hidup ke depan.

     Berdiri dipersimpangan. Berhenti berjalan. Memberi ruang waktu sejenak, sejenak saja, untuk memikirkan jalan terbaik yang akan dipilih. Akan tetapi, tetap saja, semua jalan hidup pasti punya kerikil, bahkan mungkin ranjau. Sebab itu yang perlu disiapkan adalah kaki dan semangat untuk tetap tegak berjalan.

    Aku terhenti dipersimpangan. Menimbang-nimbang jalan mana yang harus kupilih. Tak satupun langkah meski tahu hidup harus tetap berjalan. Sampai titk ini aku sadar. Hidup adalah sebuah skenario. Setiap manusia diberikan kebebasan memilih jalan apa yang ia mau. Dipersimpangan aku berdiri, tak satupun jalan yang aku tahu akan membawaku kemana dan menjadikanku orang seperti apa. Bahkan aku terkadang berpikir bagaimana bisa aku berdiri dipersimpangan ini.

   Aku masih berdiri. Masih dengan kaki yang rapuh. Bermental ciut yang berharap bisa melangkah di jalan yang selalu mulus. Meski tahu, kerikil, duri jalan hidup didepan lebih hebat dari yang sebelumnya. Akhirnya aku meminta “Ya Allah, bimbinglah hati ini menuju jalan takdir terbaik yang Engkau pilihkan”. Dengan itu, seperti apapun akhir perjalanan hidup ini, semoga bisa tetap kuat.