Monday, 15 August 2011 | By: Hanifah Fitri

Galau Maning

Hari itu aku membereskan lemari pakaian adik-adikku yang super awut-awutan. ketika aku membongkar lemari untuk kembali ditata ulang, aku sedikit terkejut. Aku menemukan beberapa lembaran-lembaran kertas yang tercecer seperti buku diary. Warna dan tulisannya khas sekali. Khas sebuah buku diari. 

Dengan hati agak berdegub aku membacanya.Awalnya sempat ragu-ragu untuk membacanya. Tapi rasa penasaran diri ini begitu membuncah. Seolah mengalahkan segalanya. 

Tulisannya rapih, khas karakter tulisan zaman dulu. Tulisan sambung yang ditulis miring kekiri dalam kertas diary bergambar warna-warni yang mulai tampak usang. Pelan-pelan kubaca tulisannya. Ternyata itu adalah ungkapan perasaan seorang wanita tentang cintanya kepada seorang pria yang sangat ia cintai. Ternyata penulisnya adalah seorang yang kini aku panggil ibu. Dan pria dalam tulisan itu ternyata adalah ayahku.

Ayah digambarkan sebagai seorang pria gagah, cerdas, dan luar biasa. Tulisan ibu itu membuatku sempat lupa tugas awalku untuk membereskan lemari. Aku mulai membaca lagi lembaran demi lembaran. Mungkin itu romantis, tapi aku jadi geli sendiri. hehe..

Namun, bukan tulisan diari itu masalahnya. Akan tetapi, efek dari perasaanku setelah membaca tulisan tersebut, Aku merenung sejenak, memikirkan tentang diriku, tentang hidupku. Di usiaku sekarang, usia saat ayah dan ibu menikah dulu. Sementara aku, masih sibuk dengan berbagai macam kesibukan yang membuatku mengikis semua benih-benih cinta. Fokus kuliah dan laksanakan amanah adalah alibi yang ku buat agar aku tidak berkelut dengan roman-roman picisan. Aku mati-matian berusaha agar tidak jatuh cinta, atau tidak lagi. Aku cabut semua benih-benih yang pernah tertanam. Aku mulai menganggap cinta adalah sesuatu yang mulai menghambat kerja dan kefokusan. Aku merasa menjadi dingin.

Pada ayah aku ceritakan semua yang belakangan mulai mengganggu pikiranku. Ayah hanya berkata, "Itu datangnya dari bisikan syaitan, belajar saja yang benar, jodoh sudah Allah yang atur". Statemen ayah cukup membuatku diam tak berkata-kata.

wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). (QS An Nur:26)
Entah sudah berapakali aku membaca dan mendengar ayat ini. Tetapi aku masih saja cemas. Cemas karena, apakah aku termakud wanita yang baik? Akankah aku mendapat seorang laki-laki yang baik?  
aku masih bertanya-tanya.
Apakah aku mampu mencintai seorang pria sedalam cinta ibu pada ayah? sementara mungkin saja aku belum begitu mengenalnya. Mungkinkah rumah tangga kami bisa terus bertahan? sementara konflik perselingkuhan sudah menjadi hal biasa, perceraian terjadi dikalangan artis, pejabat sampai ustadz. Pengkhianatan dan kelunturan kesetiaan menjadi momok yang menakutkan. 

Aku hanya seorang biasa. Sangat biasa. Hari-hariku masih dipenuhi banyak keburukan. Aku juga belum pernah membina suatu hubungan dengan laki-laki dan ketika pertama kali aku memulainya atas nama Tuhan nanti, akankah kami bertahan?

Aku cemas. Masih sangat cemas.
Sunday, 14 August 2011 | By: Hanifah Fitri

Feeling alone

Merasa sendiri terkadang mengiris. Membuat problema yang kecil terasa berat untuk dipikul. Sendiri itu sepi. Tetapi tidak selalu orang yang berada dalam keramaian tidak merasa sepi. Adakalanya kita memiliki tuntutan untuk beramah tamah dengan orang banyak, dan memiliki teman sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, apakah orang yang memiliki banyak teman adalah orang yang tidak merasa sendiri? tidak merasa sepi?

Tidak! setidaknya itulah yang kurasakan. Dan aku  pun yakin orang lain pun merasa demikian. Paling tidak untuk beberapa waktu.

Banyak orang yang tidak punya banyak teman. Terlihat sendirian, atau hanya berteman dengan orang yang itu-itu saja, Ia seperti orang yang sepi. Akan tetapi, ia punya teman yang bisa Ia percaya. Teman yang berbagi segala sensasi suka dan duka. Ia mungkin tidak merasa sepi, itu cukup baginya.Sementara, pernahkah membayangkan perasaan seseorang yang tampak selalu bahagia, ia punya banyak sekali teman, bahkan ia bisa berteman dengan berbagai macam orang dimanapun ia berada? Orang lain akan menganggapnya orang paling bahagia. Ia mungkin orang yang sering tersenyum, keberadaannya membuat orang lain mengira ia orang yang bahagia atau selalu bahagia. Tetapi di balik sisi-sisi itu, dia mungkin merasa sendiri.

Saat sendiri memamng terasa hampa. Akan tetapi, berlama-lama dalam kesendirian membuatku mulai menikmati kesendirian itu. Rasanya seperti punya suatu rauang yang sulit dibagi dengan yang lain. Pintu-pintu ruangnya adalah kepercayaan. Semakin dewasa semakin banyak usia ini mengajak bertemu dengan berbagai macam tanggung jawab sekaligus mempertontonkan pengkhianatan yang kerap terjadi berulang dari  orang lain atau diri sendiri. Membuat kunci-kunci pintu ruang itu sulit dibagi dan berkarat.Senyum bisa dibagikan pada banyak orang, tapi tidak ruang ini, Ruang yang didalamnya tersimpan, segala rasa.

Saat kecil rasanya begitu mudah membagikan berbagai macam pertanyaan serta ungkapan-ungkapan perasaan. Tapi waktu kemudian mengajarkan agar tidak lagi sebebas itu. Semakin banyak menjaga lidah, semakin banyak tertolong dari jurang kenistaan. Dan waktu tidak memeberi toleransi berupa pemakluman bagi orang-orang yang biasa disebut "orang dewasa"

Dalam jalan yang aku pilih, sendiri nampaknya menjadi makanan sehari-hari. Semakin jauh kaki ini melangkah semakin banyak teman yang pergi. Tetapi diantara kesendirian itu, semoga Allah selalu membimbing setiap langkah menjejaki jalan yang benar. Semoga Allah selalu menguatkan kaki ini meski harus berjalan sendiri. Seorang diri. Meski sepi. Meski sulit.