Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu. Karena, aku tahu
bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian
adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi,
aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian
hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan
kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu
membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di
tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau
tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti
kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam
perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan
pahit manis selama kau ada. Aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya
terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang
baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan
aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang
kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga
aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu
seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.
Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku,
Selamat jalan, calon bidadari surgaku ....
B.J. Habibie
Ah! mempunyai suami seperti Pak Habibie itu rasanya terlalu utopis. Pertanyaan yang kini menghantui benak, setelah menyaksikan film ainun dan habibie itu. Bisakah seperti ibu ainun? wanita kuat dan tak suka mengeluh, wanita yang selalu bisa menjadi motivator disaat keluarganya butuh, tegar penuh cinta hingga walau tutup usia namanya abadi dicita suami dan negara. Bisakah?